Ironi -- i love you but i'm letting go [a short story]
Hujan yang menyapa bentala sore itu tidak menyurutkan semangat dua manusia untuk bertemu, meskipun nabastala sempat murung sebab kelabu hitam menyelinap menghancurkan indahnya lazuardi. Anna dan Altair bukanlah sepasang, mereka hanyalah dua yang terikat tanpa kejelasan.
Sesuai dengan janji yang sudah disepakati An siang tadi, bahwa mereka akan nongkrong sambil berbincang sebentar. An bersiap sebelum Al menjemput ke rumahnya. Ia mematut diri di depan cermin, mengamati setiap detail penampilan tubuhnya. Kemudian sedikit mengoleskan lip mate di bibir, menyisir rambut hitammya yang digerai, menyapu wajah dengan bedak tipis lalu memakaikan bulu mata dengan mascara agar sedikit terlihat lentik. Sebenarnya An adalah tipe perempuan yang tidak begitu memperhatikan penampilan, bahkan pernah suatu hari ia pergi dengan Al hanya memakai kaos polos dan celana jeans robek-robek.
Tinnnnn
Suara klakson mobil Al sudah terdengar dari dalam kamar An dan itu tandanya Al sudah sampai. An mendekat ke arah jendela di kamarnya, kemudian sedikit membuka tirai yang menutupi kaca jendelanya. Ia melihat sosok laki-laki muda yang jujur saja, An mengakui bahwa Al itu tampan—sangat tampan. Al menyender di mobil sembari memasukkan satu tangannya ke saku, satunya lagi ia gunakan untuk memegang payung. Al mengenakan kaos polos berwarna navy, celana jeans putih dan tidak lupa converse hitam yang melekat di kedua kakinya.
Oh shit, dia tampan sekali, batin An.
"An, aku udah di bawah." Teriakan Al yang nyaring membuat lamunan An seketika buyar.
"Dua puluh detik lagi aku udah dihadapan kamu," teriak An dari dalam kamarnya.
***
"An, aku mau cerita dong." Al melirik ke arah An.
"Fokus nyetir aja dulu, bisa nggak sih, Al?" jawab An secara ketus.
"Heleh, nggak usah galak-galak dong, An." Al mendengkus lalu kembali menatap ke arah depan.
"Eh bentar An, aku boleh ganti lagunya nggak? Bosan banget dengerin lagu ini terus. Kamu nggak ada lagu lain apa?" An menatap Altair yang sedang fokus menyetir.
"Kenapa diganti? Ini kan kesukaan aku, An. Nggak ada lagu lain yang lebih bagus dari lagunya BTS. Coba kamu dengerin tuh, kebanyakan cewek kan suka kpop, lah ini kenapa malah aku yang suka."
An tidak mengindahkan jawaban Al, segera ia mengganti lagu yang dari tadi menemani perjalanan mereka, lagu yang menggema di dalam mobil Al, lagu kesukaan Altair tapi tidak untuk Anna.
I'm crazy about you
I don't know what to do
It's in the way you make me feel
You make me feel alright
I wish I could tell you
But I'm so scared you'll run away
'Cause we're in a friendzone
"Suka banget lagu itu, An?" Al melirik An dengan senyuman tipis yang sedikit membuatnya bingung.
"Asli, aku nggak sengaja putar lagu ini Al, beneran." Kedua telapak tangan An ia rapatkan seperti sedang melakukan permohonan.
"Haha, An, kamu masih mikirin kita?" ledek Al dengan kekehan.
An memang salah memutar lagu, harusnya ia tidak memutar lagu yang isinya seperti itu. Sudah benar ia mendengarkan lagu yang diputar oleh Al tadi, jadi dengan begitu justru tidak akan mempermalukan dirinya sendiri.
Al mengerutkan dahi, membuat kedua alisnya terlihat menyatu. "Sejak kapan kamu suka dengarin lagunya Fiersa?"
"Oh, ternyata kamu ngga begitu tahu tentang aku." An menganggukkan kepalanya berkali-kali.
Al hanya melongos, kembali tidak menanggapi ucapan An. Mungkin memang benar bahwa Al tidak sepenuhnya tahu tentang An, padahal Al dan An sudah lama bersama. Kebanyakan orang bilang; hanya tahu namanya saja tapi tidak untuk ceritanya.
"Ya, kan kamu bukan emak aku, kenapa harus sepenuhnya tahu? Wajib banget?" tanya Al diselingi kekehan kecil.
An memutar posisi duduknya, ia menghadap ke arah Al. "Al aku mau tanya serius sama kamu."
"Nanti aja ya, Anna cantik. Kalau kita sudah sampai tujuan kamu boleh tanya sepuasnya, ada hal yang ingin aku bilang juga." Al menengokkan kepalanya sembari tersenyum.
An yang mendengar itu memutar bola matanya, kemudian mengganti posisi duduknya menjadi seperti semula. Diantara mereka berdua tidak ada lagi percakapan, hening tercipta sepanjang perjalanan hingga akhirnya mereka sampai di tujuan.
***
Al melepaskan seatbelt kemudian menggambil payung besar yang ia letakkan di kursi belakang. Ia membuka pintu mobil dan turun dari tempat duduk kemudi, membuka payung besar itu karena hujan masih terus mengguyur dengan lumayan deras. Al melangkahkan kakinya membukakan pintu mobil untuk An, lalu mereka berjalan bersama menuju cafe.
Cafe Del Luna pada sore ini tetap membuka pintu masuknya. Meski hujan mengguyur dengan deras, tak menyurutkan semangat pemilik cafe tersebut untuk tetap membuka cafe-nya. Manik mata An menyapu seluruh penjuru cafe. Kelihatannya malam itu semesta sedikit berpihak pada mereka karena tidak banyak pengunjung yang datang ke cafe Del Luna.
Al menggandeng tangan An, mempersilakannya mencari tempat duduk yang nyaman untuk mereka. An memilih meja dekat jendela, agar bisa mengamati rintik hujan yang turun membasahi bentala.
"Kita duduk di situ aja ya, Al? biar bisa lihat hujan." An menunjuk meja yang dekat dengan jendela.
Al hanya mengangguk, kemudian An berjalan mendahuluinya sedangkan Al mengekor dari belakang. Posisi mereka berhadapan, awalnya masih diselimuti kecanggungan diantara mereka. An tidak tahu harus memulai obrolan tentang apa, ia tidak ada topik yang ingin disampaikan untuk Al. Mata An hanya melirik kesana kemari, melihat sedikit orang-orang makan dengan pasangannnya masing-masing.
"An, masalah pernikahan aku sama Ve, kamu ngga keberatan buat bahas?"
An memanggut, tersenyum mendengarkan Al membuka obrolan dengan topik pernikahan.
An memajukan kursinya, mendekat ke arah lawan bicaranya. "Santai aja kalau aku, kenapa emangnya?"
"Aku ragu An. Kamu tahu siapa orang yang selama ini aku sayang? Cuma kamu, walaupun kita nggak pernah ada ikatan, tapi aku yakin kalau kamu juga sayang sama aku," jawab Al melas.
Belum juga An menanggapi, Al sudah kembali bertanya, "Oh iya, kamu mau pesan apa?"
"Bentar dulu deh, santai aja. Kaya baru pertama kali ke sini." An mengambil ponsel dari sling bag, menghindari kegugupan atas pertanyaan Al.
"An!" seru Al.
"Iya, apa?" jawab An.
"Kamu belum jawab pertanyaan aku, An."
An mengembuskan napas kasar. "Masalah pernikahan kamu sama Ve kan udah clear? Kamu akan nikah di pertengahan tahun ini, sama orang yang jelas-jelas kamu kenal juga. Kurang apa Al?"
An mengacak rambutnya kasar. "Kamu nggak paham, An. Posisi aku bukan orang yang kenal sendiri kemudian suka berubah cinta terus ngajak nikah. Aku dijodohin, kamu tahu gimana rasanya? Bingung, sakit, sedih, terlebih aku harus ninggalin kamu."
Al menarik napasnya panjang, kemudian menghembuskannya kasar. "coba kamu ingat lagu yang kamu putar di mobil tadi. Aku pernah ada diposisi nyaman banget sama kamu, tapi aku takut buat ngajak kamu serius lebih dari teman. Aku takut karena kita nggak lebih dari sekadar friendzone."
"Al, sebagai laki-laki kamu harus tanggung jawab sama keputusanmu. Kamu harus tetap nikah sama Ve, terlebih persiapan pernihakan kalian berdua sudah matang."
Sebenarnya An tidak ingin menjawab seperti itu, Ia hanya mengalihkan pernyataan-pernyataan Al yang menjurus ke perasaaannya. An tidak tahu harus menanggapinya seperti apa, lidahnya seperti kelu untuk mengungkapkan kejujuran.
Al meraih kedua tangan An yang berada di atas meja. "An, jangan denial. Aku tahu kamu sakit tiap dengar percakapan ini. Coba mulai sekarang kamu jujur, sebelum hal buruk tentang kita berdua terjadi."
Mati-matian An menahan air matanya yang sudah menggenang di pelupuk mata, akhirnya luruh juga. Pada akhirnya An juga akan tetap jujur dengan semua itu.
"Al, kenapa selalu topik ini yang kita bahas? Nggak di percakapan biasa, via chat, atau telepon, selalu saja sama." An menunduk lesu dengan hembusan napasnya yang terasa berat.
"Karena diantara kita masih belum selesai An, kita hanya berpura-pura baik-baik saja." Al tersenyum tipis, sambil melongok menatap Al yang menunduk.
"Pada akhirnya aku akan tetap tergantikan, Al. Aku bukan pilihan kedua orang tua kamu. Bukan juga orang yang disenangi sama Ibu kamu. Bahkan aku cuma orang yang kasat mata di kehidupanmu. Selama ini, aku sayang sama kamu, tapi tidak untuk bersama. Nyamanku sebatas menjadi sahabat , Al. Aku nggak mau lebih daripada itu," tangis An semakin menjadi.
"Menikah sama aku, An?"
An menepis tangan Al yang hendak menghapus air mata di pipinya. "Nggak An. Aku nggak mau disebut orang ketiga di hubungan kamu sama Ve, apalagi sampai aku disebut orang yang menghancurkan pernikahan impian Ve."
Al, An, dan Ve memang sudah kenal sedari dulu. Mereka teman seangkatan saat kuliah. Bedanya An dan Al sudah saling kenal sejak kecil, mereka menjadi sahabat hingga sekarang. Antara An dan Al sama-sama memiliki rasa, tapi mereka tidak bisa lebih dari sekadar teman, karena ibu Al tidak begitu suka dengan An. Takdir sepertinya juga berkata lain, orang tua Al menjodohkannya dengan Ve—teman mereka dulu. Pernikahan Al dan Ve sudah disetujui oleh orang tua dari kedua belah pihak, namun Al tidak pernah menyetujui perjodohan itu. Meskipun Al tidak pernah mengiyakan, pada akhirnya ia juga tetap dipaksa oleh orang tuanya.
"An, kamu bukan orang ketiga, kamu adalah satu-satunya orang yang aku sayang dan ingin aku nikahin."
An tertawa, ia menyeka air matanya. "Selama ini kamu cuma diam, Al. Kamu nggak pernah bahas hal lebih tentang kita. Itu yang kamu sebut serius?"
"Aku takut kamu menolak," jawab Al lesu.
"Aku nggak akan menolak kalau kamu mulai membicarakannya Al. Peran aku sebagai cewek cuma bisa diam, nahan sakit sendiri."
"Aku akan ngomong sama ibu untuk batalin pernikahan ini. Aku nggak pernah menyetujui perjodohan itu, An. Kamu akan aku perjuangin. Kita berjuang bareng-bareng ya? Pegang omongan aku. Kalau nanti aku nyakitin kamu, benci aku sebenci-bencinya."
S E L E S A I
Pelajaran yang saya ambil dari cerpen ini adalah, jika punya perasaan ke seseorang, jangan ragu untuk mengungkapkan, jangan takut akan jawaban yg diberikan.
BalasHapuskalaupun ditolak, itu lebih baik daripada penyesalan karena tidak berani mengungkapkan :)